Gapura dari Bibit Cengkih: Cerita Gotong Royong Warga Gang Kuburan

Lampung Selatan — Di sudut kecil Dusun Pauh Saka, Desa Pauh Tanjung Iman, derap langkah menuju perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-80 terdengar dalam bunyi palu, gesekan kuas, dan riuh tawa warga. Gang Kuburan—nama yang bagi sebagian mungkin terdengar sunyi—mendadak penuh warna.

Semuanya berawal dari satu niat sederhana milik Samsuri. Tanpa konsep, tanpa modal, hanya tekad yang menyala. Ia mulai merangkai bambu, memaku papan, dan mengecat gapura dengan warna semangat kemerdekaan. Dari situlah, warga berdatangan, membawa tangan yang siap bekerja dan hati yang siap memberi. Anak-anak mengaduk cat, para ibu menyiapkan minum, bapak-bapak mengangkat bahan bangunan.

Tak ada anggaran resmi. Sumber dana lahir dari sumbangan warga—koin yang dikumpulkan di sela obrolan sore, lembaran uang dari kantong sederhana. Dan di antara semua itu, ada pengorbanan yang membekas: Samsuri menjual bibit cengkih miliknya. “Untuk beli paku, cat, dan konsumsi warga,” tuturnya dengan senyum lelah yang bercampur bangga.

Air berwarna-warni disiramkan di halaman, menambah semarak jelang 17 Agustus. Bahkan perlombaan pun direncanakan—tanpa bantuan pemerintah, murni dari kebersamaan.

Di Gang Kuburan, kemerdekaan dirayakan bukan dengan kemewahan, tapi dengan gotong royong yang tumbuh seperti cengkih: berakar kuat, berbau harum, dan meninggalkan jejak manis di ingatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *